Hewan terbang mirip tupai yang dijuluki ”sugar glider” atau
oposum layang (”Petaurus breviceps”) sedang digandrungi anak muda.
Mereka memperlakukan binatang asli Papua ini ibarat anak. Segala
keperluannya dipenuhi, mulai dari makan hingga mencarikan jodoh.
Bayangkan! Ajang berkumpul para pencinta oposum layang
yang rutin digelar menjadi wadah paling mudah untuk menemukan pasangan
bagi oposum layang. Ajang pencarian jodoh ini dikenal dengan istilah
”besanan” antarsesama penyayang oposum layang.
Pencinta oposum
layang di Jakarta, misalnya, biasa bertemu setiap hari Sabtu di Tribeca
Mal Central Park dan di Bundaran Hotel Indonesia pada hari Minggu.
Belasan remaja segera membuka kantong kecil berisi oposum layang yang
sebelumnya disematkan di pinggang. Binatang-binatang lucu itu
lantas menggeliat manja lalu keluar kantong dan memanjat pemiliknya.
Seperti melihat pohon lain di hutan, mereka segera melompat ke
orang-orang yang berdiri di dekat si pemilik. Haps-haps, Oposum
layang meloncat-loncat dengan gerakan seperti terbang. Binatang mungil
ini memiliki membran kulit yang membentang mulai dari kaki depan hingga
belakang sehingga bisa melayang dari pohon ke pohon.
Oposum
layang yang tergolong binatang omnivora ini baru terlihat tenang ketika
disodori aneka makanan mulai dari buah-buahan, ulat mungil, hingga bubur
bayi. Panji yang baru beberapa bulan memelihara oposum layang
juga selalu membawa rantang kecil berisi makanan. Ia menunjukkan
bubur bayi yang sudah disiapkannya untuk bekal oposum layang. Bubur
bayi itu hanya bertahan enam jam dan jika tidak habis disantap harus
segera dibuang. ”Lebih disarankan memberi makanan yang sesuai habitat
asli,” kata Panji. Ketika asyik mengobrol dengan sesama pencinta
oposum layang, Panji dikejutkan oleh ulah binatang kesayangannya yang
tiba-tiba berteriak (crabbing) dan menggigit jarinya hingga luka.
Rupanya ia merasa terancam karena mencium bau oposum layang lain di
badan Panji. Dengan penuh kasih, Panji membelai dan menenangkan
oposum layang miliknya itu. Seolah mengerti, binatang mungil itu lantas
terdiam dan kembali bergelantungan. Panji lalu memakaikan topi rajutan
mungil sebagai aksesori di kepala oposum layang miliknya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAcG1IKAVXPOBwUXVn87mjhSZI2RFOFG0btqJW8hVHlgrQJN6bLHzVAXDf7HaRhMCYXDw69bSKepWJ-XhfHL049QfPAVGx3ayRfuggaYsGlUGhoQ4OdNAQKmO1mHI6pwsC3-lhLNppSHr1/s1600/oposum+layang.jpg |
Cari jodoh
Meski
hujan terus mengguyur Jakarta, lebih dari 20 anak muda hadir dalam
acara berkumpul rutin pencinta oposum layang di Tribeca Mal Central
Park, beberapa pekan lalu. Tak hanya pemiliknya yang saling berkenalan,
oposum layang pun bisa menemukan jodohnya di ajang ini. Jika
oposum layang sudah mulai menunjukkan ketertarikan kepada lawan jenis,
pemiliknya akan berunding untuk menggabungkan mereka dalam satu kandang.
Mereka lantas menyepakati pembagian anak jika oposum layang telah
beranak.
Oposum layang termasuk binatang marsupialia atau
mamalia berkantong. Ketika lahir, binatang ini hanya sebesar butiran
beras sebelum kemudian tumbuh dan berkembang di kantong induknya selama
sekitar delapan pekan. Anggota komunitas ini menyarankan agar
penggemar oposum layang mulai mengadopsi binatang peliharaannya minimal
sejak usia dua bulan. Pada usia tersebut bayi oposum layang sudah siap
lepas dari induknya dan dengan mudah beradaptasi dengan pemilik baru.
Pencinta
oposum layang lainnya, Regen, lantas menunjukkan bayi oposum layang
mungil yang baru dibelinya dari seorang teman. Ia tertarik menambah
jumlah oposum layang miliknya meski sudah memiliki sepasang oposum
layang lain di rumah. Oposum layang pendatang baru tersebut harus
ekstra dijaga sebelum benar-benar diterima dalam kelompok. Sebagai
binatang yang berkoloni, mereka butuh pengenalan dengan saling mencium
bau sebelum akhirnya menjadi satu koloni. ”Mulai dari kecil dipelihara
enggak minat dijual,” kata Regen. Regen menggenggam dengan lembut
untuk memberi kehangatan pada bayi oposum layang berumur 1,5 bulan itu.
Pencinta oposum layang harus sangat hati-hati dengan membeli oposum
layang yang jelas identitasnya.
Oposum layang yang banyak dijual
di pinggir jalan biasanya sudah dijinakkan dengan dipotong giginya.
Padahal pemotongan gigi itu menyakitkan serta justru akan mempermudah
munculnya penyakit radang gusi dan memunculkan trauma. Dari ajang
kumpul komunitas itu pula pencinta oposum layang bisa belajar banyak
tentang cara perawatan hingga penyakit yang mungkin diderita. Demam
memelihara oposum layang mulai terlihat pada 2011. Saat ini anggota
komunitas pencintanya di Jakarta telah mencapai lebih dari 80 orang.
Binatang ”nocturnal”
Saking
cintanya pada oposum layang, Stieven juga selalu membawa oposum
layang kesayangannya ke mana pun dia pergi, termasuk ke sekolah. Selama
kegiatan belajar mengajar, oposum layang diletakkan di dalam kantong
yang disematkan di belakang meja. Karena tergolong binatang
nocturnal yang aktif di malam hari, oposum layang cenderung terlelap di
siang hari. ”Setiap jam istirahat baru dimainin. Selama jam pelajaran,
oposum layang tidur di belakang kursi. Guru tahu dan enggak masalah.
Banyak yang membawa oposum layang ke sekolah,” ujar Stieven. Awalnya
orangtua Stieven sempat kaget karena mengira anaknya memelihara tikus.
Menyaksikan anaknya rajin memelihara binatang dan terhindar dari
kegiatan negatif, orangtua Stieven lantas memberi izin pemeliharaan
oposum layang. Kini Stieven memiliki sepasang oposum layang.
Sedikit demi sedikit pertalian atau bonding dengan hewan peliharaannya
itu pun dibangun. ”Sudah seperti pacar. Kalau nanti mereka punya anak,
pasti akan saya rawat. Enggak akan bosan. Lucu kayak gini gimana bisa
bosan,” tuturnya.
Karena tergolong binatang malam, oposum layang
harus dihindarkan dari sinar matahari langsung agar tidak terkena
katarak. Pemiliknya juga harus rajin membersihkan bulu-bulunya dengan
tisu basah. Jika dirawat dengan baik, oposum layang bisa mencapai usia
lebih dari 15 tahun. Oposum layang umumnya manja dan sangat
bergantung pada pemiliknya. Tidak hanya bermain dan bersenang-senang,
oposum layang juga mengajari pemiliknya untuk bertanggung jawab
sekaligus mencintai kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar